Membeli Rumah Dengan Kredit Riba, Apakah Termasuk Darurat ?
Kali ini akan dibahas tentang Membeli Rumah dengan Kredit Riba, Dari Pertanyaan kepada Al-Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. hafidzahullah dalam website konsultasi syariah.
Menurut sebagaian kaum Muslimin Membeli Rumah adalah suatu kondisi darurat, dimana terdapat kaidah : “kondisi darurat membolehkan hal yang haram”. Mereka mengatakan jika tidak dengan cara kredit riba, maka mereka tidak akan bisa memiliki rumah sendiri padahal rumah adalah kebutuhan pokok. Apakah alasan ini dapat dibenarkan?
Tentu itu alasan yang tidak dibenarkan yang hanya datang dari hawa nafsu semata, Menurut Ustadz Yulian Purnama, S.Kom, Hafidzahullah. Dan ini adalah syubhat yang mencampuradukkan antara hak dan batil, dan menyamarkan kebenaran. Demikian juga ini termasuk penempatan kaidah bukan pada tempatnya.
Pertama, tidak ada seseorang yang mengalami kemiskinan atau menghadapi bahaya hanya karena menghindari riba. Tidak mungkin Allah menetapkan bahwa satu-satunya cara untuk memperoleh kebutuhan pokok adalah melalui sesuatu yang diharamkan. Di satu sisi, kebutuhan ini sangat mendesak, tetapi Allah melarang cara memperolehnya. Hal ini tidak mungkin terjadi. Allah Ta’ala berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya.” (QS. al-Baqarah: 286)
Segala sesuatu yang dilarang oleh syariat sejatinya bertujuan untuk kebaikan manusia. Tidak mungkin syariat melarang sesuatu yang sangat mendesak kebutuhannya, hingga menyebabkan manusia jatuh dalam kemiskinan atau bahaya jika meninggalkannya. Para ulama merumuskan sebuah kaidah fiqhiyyah:
الشَارِعُ لَا يَـأْمُرُ إِلاَّ ِبمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً وَلاَ يَنْهَى اِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً
“Islam tidak memerintahkan sesuatu, kecuali mengandung 100% kebaikan, atau kebaikannya lebih dominan. Dan Islam tidak melarang sesuatu, kecuali mengandung 100% keburukan, atau keburukannya lebih dominan.”
Kedua, mencapai suatu tujuan tidak serta-merta membenarkan segala cara. Memang benar bahwa rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok, bahkan termasuk nafkah yang wajib dipenuhi oleh kepala keluarga. Setiap manusia membutuhkannya sebagai tempat berlindung dari panas dan dingin, serta untuk menjaga aurat mereka. Allah Ta’ala berfirman:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.” (QS. ath-Thalaq: 6)
Dalam al-Fiqhul Muyassar (1/337) disebutkan:
وشرعاً: كفاية من يَمُونُه بالمعروف قوتاً، وكسوة، ومسكناً، وتوابعها
“Secara syar’i, nafaqah artinya memberikan kecukupan kepada orang yang menjadi tanggungannya dengan ma’ruf berupa quut (makanan pokok), pakaian, tempat tinggal, dan turunan-turunan dari tiga hal tersebut.”
Oleh karena itu, berusaha menyediakan tempat tinggal adalah sesuatu yang diperbolehkan, bahkan menjadi kewajiban bagi kepala keluarga. Namun, mencapai suatu tujuan tidak berarti boleh menggunakan segala cara. Menyediakan rumah harus dilakukan dengan cara yang halal, tanpa melibatkan hal-hal yang diharamkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَأْتي علَى النَّاسِ زَمانٌ، لا يُبالِي المَرْءُ ما أخَذَ منه، أمِنَ الحَلالِ أمْ مِنَ الحَرامِ
“Akan datang suatu zaman yang ketika itu manusia tidak lagi peduli dengan harta yang dia dapatkan, apakah dari yang halal atau haram?” (HR. Bukhari no. 2059)
Ketiga, penting untuk memahami dengan benar bagaimana penerapan kaidah “kondisi darurat membolehkan yang dilarang.” Kaidah ini tidak bisa digunakan secara sembarangan tanpa pertimbangan yang matang.
Salah satu hal yang perlu dipahami adalah definisi kondisi darurat. Darurat adalah situasi di mana jika sesuatu tidak dilakukan, maka seseorang akan menghadapi kebinasaan. Mengenai hal ini, Abu Abdillah az-Zarkasyi menjelaskan:
فالضرورة : بلوغه حدّاً إن لم يتناول الممنوع هلك أو قارب كالمضطر للأكل ، واللبس بحيث لو بقي جائعاً أو عرياناً لمات ، أو تلف منه عضو ، وهذا يبيح تناول المحرم .والحاجة : كالجائع الذي لو لم يجد ما يأكل لم يهلك ، غير أنه يكون في جهد ومشقة ، وهذا لا يبيح المحرَّم
“Darurat itu jika kondisinya seseorang tidak mengerjakan hal yang haram tersebut, maka ia akan binasa (mati) atau hampir mati. Seperti orang yang butuh makan hingga hampir mati, atau orang yang tidak punya pakaian, sehingga jika ia kelaparan atau tidak pakai pakaian maka ia akan mati. Atau akan rusak anggota badannya. Dalam kondisi ini barulah ia boleh melakukan yang haram. Sedangkan kondisi hajat adalah seperti orang yang lapar tapi jika ia tidak mendapati makanan ia tidak mati, walaupun ia dalam kesulitan dan kesusahan karena laparnya. Kondisi seperti ini tidak membolehkan yang haram.” (Al-Mantsur fil Qawa’id, 2/319)
Allah ta’ala berfirman:
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
“Siapa yang dalam kondisi darurat (lalu makan bangkai) tanpa zalim dan berlebihan, maka tidak ada dosa baginya.” (QS. al-Baqarah: 173)
Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan ayat ini:
وَمَنْ اُضْطُرَّ إلَى الْمَيْتَةِ، فَلَا يَأْكُلْ مِنْهَا إلَّا مَا يَأْمَنُ مَعَهُ الْمَوْتَ
“Siapa yang dalam kondisi darurat untuk makan bangkai, tidak boleh memakannya kecuali dalam kondisi ia khawatir akan mati.” (Al-Mughni, 9/415)
Kita semua memahami bahwa seseorang yang tidak membeli rumah dengan kredit riba tidak akan sampai pada kondisi kebinasaan. Mereka tetap bisa bertahan hidup tanpa harus melakukan transaksi tersebut. Oleh karena itu, situasi ini tidak termasuk dalam kondisi darurat yang membolehkan praktik riba.
Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ pernah ditanya, “Bolehkah berhutang riba ke bank untuk membangun sekadar rumah kecil saja?” Mereka menjawab:
يحرم أخذ قرض من البنوك وغيرها بربا، سواء كان أخذه القرض للبناء أم للاستهلاك في طعام أو كسوة أو مصاريف علاج، أم كان أخذه للتجارة به وكسب نمائه، أم غير ذلك؛ لعموم آيات النهي عن الربا، وعموم الأحاديث الدالة على تحريمه
“Diharamkan berhutang riba kepada bank atau kepada lembaga lainnya, baik untuk membangun rumah, atau untuk keperluan makanan, atau pakaian, atau pengobatan, ataukah untuk modal usaha dan pengembangan usaha, atau keperluan yang lainnya. Berdasarkan keumuman ayat-ayat larangan riba dan keumuman hadits-hadits yang mengharamkan riba.” (Fatawa al-Lajnah, 13/385)
Selain itu, masih banyak solusi lain untuk menyediakan rumah untuk keluarga selain menggunakan kredit riba, salah satunya dengan cara menyewa rumah. Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid mengatakan:
وشراء السكن ليس من باب الضروروات ولا الحاجات الملحة، مادام الإنسان يجد مخرجا حيث يتمكن من الحصول على المسكن على وجه الكراء، فمازال الناس يعيشون بالكراء طوال حياتهم ولا يعد هذا حرجا تباح لأجله المحرمات
“Membeli rumah bukan termasuk bab darurat dan bukan kebutuhan yang mendesak. Selama seseorang bisa mencari solusi lain seperti ia bisa menyediakan tempat tinggal dengan cara menyewa. Jika seseorang menyewa rumah sepanjang hidupnya ini pun tidak mengapa, tidak sampai membolehkan ia melakukan yang haram (dengan berhutang riba).” (Fatawa Islam Sual wa Jawab, no.373322)
Keempat, kewajiban seorang kepala keluarga dalam memberikan nafkah berupa tempat tinggal tidak berarti harus memiliki rumah sendiri. Yang dituntut dalam syariat adalah menyediakan tempat tinggal, bukan memilikinya. Oleh karena itu, seseorang dapat memenuhi kewajiban ini dengan berbagai cara yang halal, seperti menyewa, meminjam, menumpang di rumah orang tua, atau metode lain yang tidak melanggar syariat. Semua ini tetap dianggap sebagai bentuk pemenuhan kewajiban nafkah tempat tinggal.
Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syanqithi menjelaskan:
فيجب على الزوج أن يسكن زوجته ويكون السكن بالمعروف فإن كان غنياً أسكنها سكن ذوي الغني وان كان فقيراً أسكنها على قدر حاله من الفقر ولا حرج أن يسكنها في سكن يملكه أو يستأجره أو يسكنها في رباط أو نحو ذلك إن كان ضيق الحال كما ذكر العلماء-رحمهم الله-
“Wajib bagi suami untuk menyediakan tempat tinggal bagi istrinya. Tempat tinggal ini tentunya yang ma’ruf (baik). Jika si suami adalah orang kaya, maka hendaknya ia menyediakan tempat tinggal yang memadai. Namun jika si suami fakir, maka hendaknya ia menyediakan tempat tinggal sesuai kemampuannya. Tidak mengapa tempat tinggal yang disediakan itu milik sendiri ataupun menyewa atau rumah di daerah perbatasan atau semacamnya, jika memang kondisinya susah, sebagaimana disebutkan oleh para ulama.” (Transkrip muhadharah berjudul “Haqquz Zaujah” di shankeety.net)
Dengan demikian, semakin jelas bahwa kebutuhan akan rumah atau tempat tinggal tidak menjadi alasan yang membolehkan seseorang untuk melakukan transaksi kredit riba yang telah diharamkan oleh Allah Ta’ala. Oleh karena itu, hendaknya kita semua bertakwa kepada Allah dan menjauhi segala bentuk transaksi riba. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita semua.
Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.
- Investasi Syariah: Memahami Konsep dan Praktiknya untuk Keamanan dan Keberkahan
- Keanggotaan
- 6 Sunnah Rasulullah ﷺ saat idul fitri
- mengenal riba, pengertian dan jenisnya
- Riba Yad: Memahami Pengertian dan Dampaknya dalam Transaksi Jual Beli