Istilah wakaf telah lama dikenal oleh masyarakat luas dikarenakan keterkaitannya yang kuat dengan berbagai kegiatan sosial yang terbukti memberi manfaat dalam kesejahteraan masyarakat sekitar. Namun, muncul satu pertanyaan yaitu bagaimana asal muasal istilah wakaf dapat dikenal oleh semua orang? Dalam artikel ini, kita akan membahas sejarah wakaf secara konsep pada artikel ini.

Daftar Isi Artikel
Wakaf Masa Rasulullah ﷺ
Dicatat bahwa sejarah wakaf pertama kali terjadi pada zaman Rasulullah ﷺ dalam pembangunan Masjid Quba. Ketika beliau hijrah dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 Masehi, mereka singgah terlebih dahulu di Quba selama 5 hari. Lalu Rasulullah ﷺ memutuskan untuk membangun masjid di atas sebidang tanah milik keluarga Kalsum bin Hadam dari kabilah Amir bin Auf.
Meskipun kata wakaf secara sepesifik tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, prinsip dasar wakaf tercantum dalam hadis riwayat Muslim yaitu :
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila seorang anak Adam meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah (amal yang terus-menerus), ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)
Konsep sedekah jariyah dapat kita kaitkan dengan wakaf, karena hasil wakaf terus mengalir bahkan setelah wafatnya orang yang mewakafkan hartanya.
Pada tahun ketiga Hijriyah, seseorang bernama Mukhairiq mewakafkan tujuh bidang kebun buah-buahan miliknya kepada Rasulullah ﷺ di Madinah. Rasulullah ﷺ kemudian mengambil alih kepemilikan kebun tersebut dan memanfaatkannya. Hasil keuntungan kebun tersebut disebarkan untuk fakir miskin. Praktik tersebut lalu ditiru oleh sahabat Nabi ﷺ dan juga Khalifah Umar bin Khattab.
Wakaf yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab tercatat dalam hadits riwayat Ibnu Umar Radhiyallahu anhu:
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu, berkata : “Bahwa sahabat Umar Radhiyallahu anhu, memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar Radhiyallahu anhu, menghadap Rasulullah ﷺ untuk meminta petunjuk, Umar berkata : “Hai Rasulullah ﷺ ., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah ﷺ . bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-rang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR.Muslim).
Wakaf Masa Khulafaur Rasyidin
Setelah wakaf yang dilakukan oleh Umar bin Khattab, Abu Thalhah pula mewakafkan kebun kesayangannya yaitu kebun ‘Bairaha’. Sahabat Nabi ﷺ lainnya pun turut melakukan wakaf, seperti Abu Bakar mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang ditujukan untuk keturunannya yang datang di Mekkah. Utsman bin Affan menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur. Muadz bin Jabal mewakafkan rumahnya yang populer dengan sebutan ‘Dar Al-Anshar’. Kemudian Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam, dan Aisyah istri Rasulullah juga melaksanakan wakaf.
Wakaf Masa Dinasti Islam
Praktek wakaf semakin tersebar dan dilakukan pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, penggunaan wakaf tidak hanya untuk orang fakir dan miskin namun digunakan juga untuk pembangunan lembaga pendidikan dan juga perpustakaan. Sejarah Wakaf, pada Dinasti Umayyah, hakim Mesir bernama Taubah bin Ghar Al-Hadhramly dalam masa kepemimpinan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik tertarik untuk mengembangkan wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf pertama dilakukan dalam administrasi di Mesir bahkan di seluruh negara Islam.
Baitul Hikmah sebagai lembaga penelitian dan pendidikan yang dianggap sebagai pusat keilmuan pada zaman keemasan Islam, pembiayaan pembangunannya menggunakan dana wakaf. Hal ini dapat diwujudkan karena pada zaman Khalifah Al-Ma’mun pengelolaan wakaf makin terorganisasi dan lebih profesional. Lembaga lain yang dibangun pada zaman Al-Ma’mun ialah Majelis Al-Munazharah sebagai lembaga pengkajian agama. Terbukti bahwa dengan memanfaatkan wakaf, kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan.
Wakaf Masa Al-Ayyuby
Shalahuddin Al-Ayyuby mengubah tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara. Beliau juga banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan madrasah mazhab asy-Syafi’iyah, madrasah al-Malikiyah dan madrasah mazhab al-Hanafiyah melalui model skema mewakafkan kebun dan lahan pertanian. Lalu beliau menerapkan kebijakan bea cukai untuk orang Kristen yang berdagang dan hasilnya dikumpulkan untuk dana wakaf.
Pada masa kepemimpinan Shalahuddin Al-Ayyuby pun mulainya perkembangan wakaf uang di Mesir. Dana yang diperoleh digunakan untuk mendanai pembangunan masjid, sekolah, rumah sakit, dan fasilitas penginapan. Wakaf menjadi salah satu penopang kekuatan ekonomi dinasti Islam.
Wakaf Masa Ottoman
Selama pemerintahan Kesultanan Ottoman (1299–1922), wakaf mencapai puncaknya sebagai lembaga sosial. Pemerintah Ottoman memberikan dukungan besar terhadap sistem wakaf, sehingga tercatat sekitar sepertiga dari semua tanah di wilayah Ottoman dikelola sebagai properti wakaf. Lembaga wakaf mengelola sekolah, rumah sakit, pemandian umum (hammam), dan berbagai fasilitas umum lainnya yang melayani masyarakat.
Salah satu wakaf terbesar dan paling terkenal pada masa Ottoman adalah Wakaf Haseki Sultan, yang didirikan oleh istri Sultan Suleiman Agung, Hurrem Sultan. Wakaf ini digunakan untuk mendirikan berbagai fasilitas, termasuk rumah sakit, dapur umum, dan sekolah di Yerusalem, Istanbul, dan kota-kota lainnya.
Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan diperaktekkan sampai saat sekarang. Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia.
Wakaf Masa Modern
Setelah berbagai negara Muslim terbebas dari penjajahan, sistem wakaf mengalami reformasi hukum dan inovasi-inovasi yang relevan. Dengan itu, diharapkan menarik perhatian masyarakat dan membangun kepercayaan mereka untuk melakukan wakaf. Di beberapa negara seperti Mesir, Arab Saudi, dan Malaysia, pemerintah mulai mengambil peran dalam pengelolaan wakaf, meski masih ada yang mempertahankan sistem wakaf tradisional yang dikelola oleh individu atau keluarga. Berbagai negara Muslim mulai mengembangkan konsep wakaf produktif dan wakaf tunai. Inovasi-inovasi ini memudahkan orang-orang untuk melakukan wakaf demi kesejahteraan umat.
Amerika Serikat memiliki aset wakaf yang produktif yaitu sebuah proyek apartemen senilai 85 juta dollar. Aset tersebut dimiliki oleh Islamic Cultural Center of New York (ICCNY) . Aset tersebut dikelola oleh Kuwait Awqaf Public Foundation (KAPF), yaitu sebuah lembaga keuangan Islam profesional. Wakaf dikelola secara profesional, sehingga hasil yang diperoleh pun juga maksimal.
Lalu di Indonesia, awalnya hanya wakaf tanah yang dikenal masyarakat namun setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf tunai dan PP Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaannya, masyarakat mulai mengenal bentuk-bentuk wakaf lainnya. Indonesia mempunyai banyak sekali benda wakaf, baik benda wakaf bergerak maupun benda tak bergerak.
Berbagai data dan kajian tentang potensi wakaf yang dilakukan oleh berbagai lembaga yang otoritatif menunjukkan bahwa wakaf memiliki potensi yang sangat besar. Sistem Informasi Wakaf (SIWAK) Kementerian Agama RI mencatat 440,512 ribu titik lokasi tanah wakaf dengan luas mencapai 57,763 hektar. Potensi wakaf uang atau wakaf tunai di Indonesia menurut berbagai kajian menunjukkan potensi proyeksi wakaf uang nilainya cukup fantastik yaitu sekitar 180 triliun rupiah per tahun.
Kesimpulan
Sejarah wakaf membuktikan bahwa wakaf merupakan instrumen yang dapat membangun peradaban Islam sebagai instrumen redistribusi kekayaan dan pembangunan sosial. Fasilitas yang dibutuhkan untuk menciptakan generasi emas dapat diwujudkan dengan memaksimalkan potensi wakaf yang ada. Dengan reformasi dan berbagai inovasi baru seperti wakaf uang, wakaf saham, wakaf Hak Kekayaan Intelektual (Haki) dan bentuk wakaf lainnya, diharapkan wakaf dapat perhatian yang cukup sehingga manfaat dari wakaf dapat tersebar dengan luas.